Memecat STY Lebih Banyak Mudharat ketimbang Untungnya
pratamedia.com – Pemecatan Shin Tae-yong (STY) sebagai pelatih Timnas Indonesia banyak disesali oleh mayoritas pendukung Tim Garuda. Hal itu beralasan karena posisi Marselino Ferdinan dkk. sebetulnya sudah on the track untuk lolos dari babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia.
Kini Timnas bertengger di posisi tiga klasemen sementara Grup C dengan raihan enam poin. Posisi Indonesia berada satu tingkat di atas langganan Piala Dunia, Arab Saudi. Tinggal butuh fokus dan konsistensi untuk merawat momentum saja, Timnas selangkah lebih dekat ke Piala Dunia tahun depan.
Akan tetapi, momentum itu seakan terusik dengan pemecatan Shin Tae-yong. Timnas harus memulai lagi dengan kondisi berbeda untuk menjalani empat laga sisa yang berat melawan Australia, Bahrain, Cina, dan Jepang.
Sejatinya, pemecatan STY di tengah-tengah babak kualifikasi jauh lebih banyak rentetan mudharat-nya ketimbang untungnya.
Mudharat #1: CV Patrick Kluivert Tidak Meyakinkan
Pengalaman Kluivert terakhir adalah melatih klub papan tengah Turki, Adana Demirspor, pada musim 2023/2024 lalu. Ia hanya melatih selama enam bulan saja, dari Juni sampai Desember. Di akhir musim, Adana hanya bercokol di posisi 12 klasemen.
Di level Timnas, Kluivert pernah melatih Timnas Curaçao pada 2015-2016. Lalu pada 2021 ia kembali ke posisi tersebut sebagai pelatih interim. Tidak ada yang istimewa dari pencapaiannya saat menangani negara pulau di dekat Laut Karibia itu.
Konyolnya, Erick Thohir sebagai HRD merekrut Kluivert karena mantan pemain Timnas Belanda itu jadi satu-satunya kandidat yang datang saat wawancara di hari Natal 2024 lalu, dan bukan karena kapabilitas atau track record.
Beban berat ada di pundak Kluivert. Ia butuh banyak keajaiban untuk membuktikan, sekaligus membungkam, pelontar kritik-kritik tajam. Diharapkan mantan striker Barcelona itu bisa menunjukkan kapabilitasnya. Kalau tidak, ini akan menjadi pemicu mudharat-mudharat lainnya.
Mudharat #2: Suguhan Taktik “Kick the Ball and Insyaallah”
Sekarang kita coba rujuk testimoni dari penggemar sepak bola Timnas Curaçao. Sebuah akun di X atau Twitter dengan nama pengguna @Curacaofootbal1 sempat membagikan testimoninya mengenai Kluivert ketika kabar pemboyongannya sebagai pelatih kepala Timnas Indonesia ramai baru-baru ini.
Kata akun tersebut dalam sebuah tweet, Kluivert bagus dalam hal merekrut pemain. Akan tetapi, kelemahan Kluivert terletak pada sisi taktikalnya. Ia menilai taktik Kluivert buruk. Para pemain seperti ayam yang kehilangan induk ketika bertarung.
Di sebuah tweet lain, akun yang sama juga mengatakan bahwa taktik Kluivert adalah “go out there and do something”. Ia mengatakan bahwa para pemain tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan di lapangan di bawah asuhan Kluivert.
Penggemar sepak bola pasti sudah familiar dengan banter atau ejekan sarkastik yang sering berkeliaran di media sosial tentang cara main bola seperti itu. Taktik semacam itu kerap disebut juga “play the ball and insyaallah” sebagai variasi dari banter “just cross and insyaallah” untuk tim-tim dengan pelatih yang disebut miskin taktik.
Mudharat #3: Potensi Gagal Lolos Babak Ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026
Dengan memulai lagi dari nol, ditambah taktik yang belum jelas dan teruji dari pelatih anyar, persiapan yang sudah setengah jalan di tangan STY harus disesuaikan lagi dengan racikan Kluivert untuk menghadapi lawan-lawan berat pada Maret dan Juni nanti.
Yang paling dikhawatirkan adalah ini bisa merusak momentum yang sudah terbangun. Fokus bisa jadi buyar karena muncul dinamika internal yang baru.
Skenario terburuknya, Timnas main buruk di empat laga sisa itu, dan mimpi berlaga di Piala Dunia 2026 harus terkubur dalam-dalam.
Mudharat #4: Khawatir Ranking FIFA Turun Lagi
Dengan taktik pelatih yang belum teruji benar di level tim nasional, kekalahan demi kekalahan bisa menjadi keniscayaan—untuk ukuran Timnas Indonesia yang dikenal tekanan publik dan federasinya terbilang luar biasa hebat. Sayangnya, kekalahan-kekalahan itu menghantui di empat laga penting nanti.
Andai skenario terburuk itu terjadi, bukan tak mungkin ranking FIFA Timnas Indonesia merosot lagi. Di sisi lain, padahal penggemar sepak bola sama-sama tahu betapa penuh jerih payah Timnas Indonesia merangkak naik di tangga peringkat level global itu. Indonesia sudah merangkak jauh dari peringkat 179 ke 127.
Mudharat #5: Timnas Jadi Kurang “Sexy” Lagi Buat Pemain Diaspora
Di satu sisi, ada yang menilai bahwa datangnya Kluivert sebagai pelatih akan menjadi magnet bagi pemain diaspora berdarah Belanda untuk ikut bergabung. Di sisi lain, hal sebaliknya bisa terjadi: justru pemain diaspora akan ogah merumput bersama Timnas apabila Rafael Struick. dkk gagal lolos babak kualifikasi, kalahan terus, dan ranking di FIFA nyungsep.
Kecuali kalau pemain-pemain diaspora itu lebih tertarik berseragam Merah Putih cuma gara-gara pelatihnya orang Belanda, sih, dan bukan karena prestasi Timnas yang meningkat. Akan tetapi, apa mungkin pemain-pemain diaspora berpikir seperti itu?
Mudharat #6: Lebih Memfasilitasi Pemain Diaspora Ketimbang Lokal
Sekarang bayangkan skenario sebaliknya. Kluivert rupanya berhasil menjadi daya tarik bagi pemain-pemain diaspora, khususnya yang berdarah Indonesia-Belanda. Komunikasi dengan pemain-pemain berdarah Belanda di bawah Kluivert jadi lebih mulus ketimbang di masa STY.
Akan tetapi, logikanya, Kluivert juga harus memperhatikan bagaimana cara ia berkomunikasi dengan pemain lokal, yang tidak bisa berbahasa Belanda. Kluivert juga harus memikirkan bagaimana cara berkomunikasi dengan Jordi Amat yang berasal dari Spanyol. Dan begitu seterusnya.
Sejauh ini, belum muncul keluhan kendala bahasa dari para pemain lokal terhadap STY. Baru muncul dari pemain naturalisasi, Marc Klok. Karena belum ada keluhan dari pemain lokal, bisa disimpulkan bahwa komunikasi sebetulnya bukan masalah besar ke semua pemain timnas.
Lagi pula, dengan capaian Timnas di tangan STY sejauh ini—di antaranya ranking FIFA di posisi 127, dan berada di posisi ketiga klasemen sementara Grup C babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia, satu tingkat di atas langganan Piala Dunia, Arab Saudi—bukankah itu pertanda bahwa sebetulnya sejauh ini pesan-pesan dari STY tersampaikan, ter-deliver, dan terjemahkan dengan baik oleh para pemain di lapangan meskipun ada kendala bahasa?
Memang betul bahwa STY seharusnya belajar bahasa Indonesia dalam kurun waktu lima tahun kepemimpinannya di Timnas Indonesia. Akan tetapi, coba bayangkan, ia tidak mampu berbahasa Indonesia pun, pencapaian Timnas sudah secemerlang ini.
Kalau bisa disimpulkan, bahasa Indonesia-nya STY bukan kendala besar. Toh, pesan-pesan substansialnya tersampaikan selama ini, dan itu diterjemahkan oleh para pemain di lapangan, dan para penggemar sepak bola Tanah Air sudah bisa merasakan hasilnya bersama-sama.
Minim Untung Pemecatan STY
Nah, itu mudharat-nya. Sekarang apa untungnya memecat STY dan merekrut pelatih baru, Patrick Kluivert? Belum ada yang bisa banyak diharapkan dari segi prestasi kalau kita melihat track record si pelatih anyar.
Belum lagi bicara tekanan publik Indonesia, yang sebagian sudah tidak lagi mau mendengar soal “proses”, seperti yang diungkapkan La Grande Indonesia, yang meminta Timnas Indonesia menyudahi babak ketiga kulaifikasi sebagai runner-up. Tidak ada tawar-menawar.
Belum lagi tekanan psikologis bagi Kluivert yang harus minimal menjaga tren peningkatan peringkat timnas di FIFA. Demi menjaga itu, kemenangan demi kemenangan harus menjadi jaminan, sementara lawannya berat-berat.
Belum lagi untuk memenangkan pertandingan-pertandingan berat itu, permaian Tim Garuda harus ditunjang dengan taktik yang mumpuni. Kita sudah lihat testimoni penggemar sepak bola Curaçao mengenai taktik Kluivert seperti apa.
Ketum PSSI, Erick Thohir, juga bahkan tidak bisa berbicara banyak soal track record Kluivert. Ia menyontohkan Zinedine Zidane yang sukses mengendalikan ruang ganti Real Madrid meski tidak punya track record mentereng.
Exco PSSI, Arya Sinulingga, pun berbicara dengan nada serupa. Ia mengibaratkan tidak menterengnya pengalaman melatih Kluivert seperti Carlo Ancelotti di Real Madrid. Arya menyebut Ancelotti tidak jago teknis.
Boleh saja para penggemar timnas berharap Kluivert bisa meng-copy apa yang dilakukan oleh Ancelotti atau Zidane di Los Galacticos. Namun, perlu diingat, Timnas Indonesia bukanlah Real Madrid.
Keuntungan #1: Komunikasi dengan Pemain Berdarah Belanda Tak Terkendala
Kedatangan Kluivert ke ruang ganti timnas diharapkan bisa mengikis kendala bahasa antara pelatih dengan pemain berdarah Belanda. Namun, di saat yang sama Kluivert juga harus memikirkan bagaimana caranya berkomunikasi dengan pemain lokal yang asli terlahir dan berdarah Indonesia sepenuhnya.
Jangan sampai ada sebutan “Timnas Belanda KW” atau semacamnya. Sayangnya, istilah-istilah segregatif seperti “pemain Belanda” sudah terlontar dari mulut salah seorang pandit bola terkenal seantero negeri ini.
Keuntungan #2: Strategi Bisa Disepakati oleh Para Pemain
Dalam konferensi persnya, Erick Thohir mengatakan bahwa salah satu alasan memecat STY adalah agar Timnas Indonesia bisa mendapatkan pelatih kepala dengan strategi permainan yang bisa disepakati oleh para pemainnya.
Entah ini tergolong sebuah keuntungan atau bukan. Pasalnya, ini jadi terkesan kalau para pemain hanya mau enaknya saja di lapangan, dan tidak mau mendengar instruksi STY.
Dari zaman jebot, pelatih sepak bola lazimnya punya otoritas penuh dalam menentukan strategi di lapangan. Pemain hanya punya pilihan menjalankan instruksi atau tidak. Kalau tidak, ganjarannya dibangkucadangkan, dikeluarkan dari daftar skuad, atau tidak pernah dipanggil lagi.
Kalau dipikir-pikir, kekuatan pemain diaspora ini jadi sangat overpower, dan mengerikan. Mereka bisa sampai mengeluarkan pelatih karena strategi yang diapliaksikan tidak sejalan dengan keinginan mereka.
Keuntungan #3: Tidak Ada Hierarki Lagi dalam Alur Komunikasi
Marc Klok tentu saja menjadi pemain yang paling berbangga hati karena ialah orang yang paling mempersoalkan gaya kepelatihan STY yang menurutnya hierarkis. Sepertinya, memang ada clash budaya Barat (pemain diaspora) dan Timur (STY).
Akan tetapi, mengapa yang dari Timur harus menyesuaikan dengan gaya Barat, dan bukan sebaliknya? Padahal kalau melihat peta, Indonesia merupakan sebuah negara yang terletak di bagian selatan Bumi, dengan budaya ketimurannya.
PSSI yang seharusnya menjadi penengah sepertinya lebih condong untuk mengakomodir keinginan beberapa pemain diaspora itu ketimbang menjaga momentum dengan kehadiran STY. Pada akhirnya, hidup memang harus memilih.
Kepergian STY Tetap Disayangkan
Namun, kepergian STY masih disayangkan oleh sebagian pendukung Timnas Indonesia. Sisi positif STY masih lebih banyak dari kekurangannya. Prestasi-prestasi STY—yang termutakhir, peringkat 127 dunia dan peringkat tiga di klasemen sementara babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia—jauh lebih lebih bernilai dari persoalan komunikasinya dengan pemain diaspora.
Toh, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, sebetulnya pesan-pesan substansial STY kepada para pemainnya sudah tersampaikan dengan baik sejauh ini meski terkendala bahasa. Penggemar bisa melihat indikatornya dari permainan di lapangan, dan capaian statistik di atas kertas. Kalau pesannya tak tersampaikan dengan baik, Timnas Indonesia tidak mungkin bisa melangkah sejauh ini, toh?
Tulisan ini akan ditutup dengan pertanyaan berikut. Kalau harus memilih, teman-teman pembaca akan pilih mana: mempertahankan tren perbaikan mutu permainan, peningkatan ranking FIFA, dan menjaga momentum lolos ke Piala Dunai 2026 di tangan STY, atau mengikis kendala bahasa dan komunikasi di ruang ganti demi mengakomodir keinginan sejumlah pemain-pemain diaspora?