Editorial

Gala bunga matahari: Validasi Kesedihan dan Mengikhlaskan

pratamedia.com – Lagu “Gala bunga matahari” milik Sal Priadi sukses bikin nangis massal. Lagunya sontak bikin layar media sosial warganet kebanjiran air mata—setidaknya sejak video lirik resminya tayang pertama kali di YouTube pada 14 Juni 2024 lalu.

Setidaknya terdapat dua klaster komentar yang muncul dari warganet usai lagu tersebut menjadi buah bibir di ruang maya.

Pertama, komentar keterkaitan (relatability) yang mendalam antara pendengar dan orang terdekatnya yang sudah berpulang. Memori akan sosok mendiangnya seakan diangkat lagi ke permukaan oleh lagu itu.

Kedua, komentar mengenai diselipkannya lirik-lirik bernuansa ayat Kitab Suci Alquran dan hadits Nabi Muhammad. Sungai yang dilintasi air susu di surga merujuk pada surah Muhammad ayat 15, sementara orang-orang di surga muda lagi merujuk pada salah satu ucapan Nabi yang diriwayatkan Imam Muslim.

Nuansa Musik dan Lirik Berkebalikan

Namun, yang tak kalah menarik perhatian adalah bagaimana lagu “Gala bunga matahari” itu mampu mengawinkan lirik dan musik yang kalau dilihat secara cermat memiliki nuansa yang justru saling berkebalikan.

Musibah banjir air mata warganet ini menjadi bukti sahih kalau liriknya memunculkan kesedihan dan kehilangan yang mendalam. Akan tetapi, sudahkah pembaca cermati lebih dalam musiknya?

Kalau kita ambil gitar, dan ulik sedikit lagunya, maka akan ketemu kalau lagu itu main di kunci dasar G#. Dengan kata lain, lagunya bermain di kunci mayor.

Dalam musik, kunci mayor biasanya menandakan suasana bahagia, ceria, penuh energi, atau hal-hal “cerah” dan positif lainnya. Sementara kunci minor lebih bersifat sebaliknya.

Itu baru bicara kunci dasar. Belum bicara isian-isian instrumen di lagunya.

Isian Instrumen Unik dan Playful

Coba perhatikan lebih cermat, sentuhan-sentuhan piano di hampir keseluruhan lagu “Gala bunga matahari” itu begitu manis, tidak pedih, tidak seperti menggambarkan sedang mengalami kehilangan. Bunyinya lembut, lentik, dan indah.

Di pertengahan lagu, diselipkan isian-isian tipis instrumen klarinet yang terbilang playful. Isian klarinet tersebut juga diiringi gemerincing glockenspiel yang tidak kalah manis. Bunyi strings di belakang bukan tipikal melodi strings yang menyayat hati pula. Alih-alih menyayat hati, bunyinya justru penuh penuh harap.

Belum lagi bicara salah satu treatment unik di bagian-bagian awal lagu. Ketika lagu memasuki bagian lirik “Adakah sungai-sungai itu benar-benar/Dilintasi dengan air susu”, terdapat suara tumpahan susu ke dalam gelas.

Menurut keterangan Sal sendiri di kanal YouTube Podkesmas, suara tumpahan air susu ke dalam gelas itu merupakan suara asli. Dan benar-benar air susu, bukan air putih biasa. Ia bilang itu merupakan ide sang produser.

Bisa pembaca bayangkan, dalam mengeksekusi lagu sesedih itu, kok masih bisa terpikir ide se-playful itu?

Campur Aduk Gembira dan Sedih

Apakah kecerian dan keindahan itu hanya terkandung dari bunyi-bunyian instrumen musiknya saja? Sebetulnya tidak juga. Coba pembaca perhatikan juga liriknya. Salah satunya di bagian ini:

Semua pertanyaan, temukan jawaban/Hati yang gembira, sering kau tertawa/Benarkah orang bilang, ia memang suka bercanda?

Bukankah lirik-lirik itu membuat kita penuh harap akan kehidupan baru yang diarungi orang terdekat kita yang telah berpulang? Bukankah kita seharusnya juga ikut bangga? Dan merasa aman karena almarhum sudah gembira di atas sana?

Walau masih menjadi misteri siapa yang dimaksud dengan “ia” yang suka bercanda dalam lirik itu, bukankah itu berarti almarhum bisa tertawa dengan lepas karena menemukan sosok penghibur di surga? Bukankah itu seharusnya membuat batin kita tenteram?

“Kangennya masih ada di setiap waktu/Kadang aku menangis bila aku perlu/Tapi aku sekarang sudah lebih lucu/Jadilah menyenangkan seperti katamu”

Meski di dua baris pertama penggalan lirik di atas si penyanyi menunjukkan kesedihan yang mendalam, tetapi penekanan berada setelah kata “tapi” di dua baris terakhir. Si penyanyi kini sudah berubah menjadi pribadi yang menyenangkan sesuai pesan almarhum.

Dengan demikian, pendengar dibawa terlalu fokus pada sisi kesedihan yang ditawarkan oleh lagu itu. Sementara keindahannya semacam terabaikan.

Memang, sih, lirik yang ditulis Sal seakan menghipnotis pendengarnya untuk lebih memfokuskan diri pada sisi kesedihannya, terutama di bagian awal lagu.

Pendengar jadi kadung menangis, sementara lagu belum selesai. Alhasil, pendengar terlewat begitu saja untuk melihat sisi ceria yang sebetulnya “didorong” oleh lagu itu.

Validasi Kesedihan, tetapi Juga Mengikhlaskan

Lalu, apa sebenarnya yang ingin disampaikan Sal dengan lirik bernuansa kesedihan tetapi berbalut musik yang indah? Jawabannya sederhana, dia mengizinkan pendengar memvalidasi kesedihannya sendiri, tetapi juga di saat yang bersamaan meminta pendengar, dengan suasana hati yang ikhlas dan tenteram, untuk merelakan mendiang yang berpulang.

Lagu dengan sound ceria tetapi lirik gelap sebenarnya bukanlah hal yang baru. Musik jenis ini sering ditemui di banyak genre musik dari berbagai negara. Dan tak jarang, dari segi tema lirik, lagunya bernuansa sedih akan kehilangan, tetapi juga merelakan kepergian orang tersayang dengan lapang dada.

Hal ini juga dikonfirmasi oleh Sal sendiri di kanal YouTube Podkesmas. “Yang bisa gua capture itu sebenernya harapannya bahwa kalau lu ditinggal, lu enggak bisa terus-terusan berduka. Ada hidup yang harus terus lu jalanin. Dan orang yang meninggal juga berharap lu bisa lanjutin hidup lu, kan?” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *