Benarkah Orang Stres Lebih Mudah Terserang Pilek?
pratamedia.com – Seseorang yang sering stres disebut lebih rentan terhadap penyakit pilek, atau serangan virus lainnya. Hal itu lantaran ketika stres, seseorang akan mengalami penurunan kekebalan tubuh.
Sumber stres pada setiap orang bisa berbeda-beda. Beberapa sumber stres meliputi permasalahan karier, perubahan hidup, keluarga, relasi pertemanan atau percintaan, kondisi keuangan, hingga kematian seseorang.
Ketika terserang stres, seseorang akan merasakan atau memunculkan sejumlah gejala. Beberapa gejala yang paling umum dijumpai adalah lebih sering merasa khawatir, cemas, atau takut pada kondisi pribadi dan lingkungan sekitar.
Nah, kondisi gangguan psikologis tersebut rupanya tidak hanya mengganggu kondisi mental saja, tetapi juga berpengaruh pada kondisi fisik. Orang yang sering cemas karena stres disebut lebih rentan terkena serangan virus, termasuk pilek. Benarkah demikian?
Stres dan Rentan Pilek
Menurut Matt Ridley dalam buku Genom Kisah Spesies Manusia dalam 23 Bab, orang-orang dengan sifat yang lebih pemurung memang lebih rentan terkena pilek. Ia menulis bahwa ketika tubuh diserang virus, baik virus baru atau virus yang sudah ada tetapi tidak aktif tetapi meledak lagi, bisa jadi penyebabnya psikologis.
Melansir laman IHC Telemed, biang kerok utama serangan pilek adalah virus bernama rhinovirus. Pilek memengaruhi saluran pernapasan atas. Penyakit ini menyebabkan gejala hidung tersumbat, bersin, batuk, sakit tenggorokan, hingga keluarnya lendir dari hidung.
Matt mencontohkan yang terjadi kepada sejumlah perawat. Ia menulis bahwa kelompok perawat yang agak pemurung lebih sering terkena pilek. Sementara perawat lain, yang lebih periang, lebih tahan terhadap serangan virus yang sama.
Stres Tidak Hanya Rentan terhadap Pilek atau Flu
Lebih lanjut, masih dalam buku yang sama, Matt menulis bahwa tidak hanya penyakit flu yang menyerang seseorang ketika orang tersebut sedang cemas akibat stres. Ia mengatakan bahwa orang cemas juga rentan terserang mononukleosis.
Ia mencontohkan apa yang terjadi di akademi militer West Point. Menurutnya, taruna yang lebih mudah cemas lebih rentan terkena mononukleosis. Tidak berhenti di situ, taruna yang gampang cemas lebih cepat menderita sakit parah karenanya.
Tidak berhenti di situ, lanjut Matt, orang yang mengalami stres cenderung akan mempunyai limfosit T yang lebih sedikit. Limfosit T merupakan sel darah putih yang berguna dalam sistem kekebalan tubuh. Kondisi ini bisa terjadi, misalnya, pada seseorang yang harus mengurus pasien Alzheimer (karena merawat pasien Alzhemier sangat melelahkan dan bikin stres).
Begitu pula kondisinya pada seseorang yang kehilangan orang yang mereka cintai. Seseorang bisa mengalami stres karena orang terdekatnya meninggal dunia, dan kehilangan ini bisa menyebabkan stres.
Stres karena Kadar Kortisol Meningkat
Akar dari segala kondisi stres yang terjadi adalah peningkatan kadar kortisol dalam darah. Kortisol merupakan sebuah hormon yang memadukan tubuh dan pikiran dengan mengubah-ubah konfigurasi otak.
Dalam titik tertentu, kortisol bisa mengganggu sistem kekebalan tubuh. Kalau banyak kortisol di pembuluh darah, itu berarti seseorang sedang mengalami stres. Ketika stres, maka orang tersebut renan terkena virus, termasuk pilek.
Ketika kadarnya dalam darah tinggi, kortisol bisa berefek pada pelemahan aktivitas, jumlah, dan masa hidup limfosit, atau sel-sel darah putih.
Dalam sel-sel darah putih, kortisol terlibat mengaktifkan gen TCF. TCF kemudian membuat proteinnya sendiri, yang bertugas menekan ekspresi protein lain bernama interlukin 2. Interlukin 2 adalah bahan kimia yang membuat sel-sel darah putih bersiaga terhadap kuman.
Maka, ketika kortisol menghalangi kesiagaan sel-sel darah putih, seseorang menjadi rentan terkena penyakit.
Cara Menurunkan Kortisol agar Tidak Stres
Mengelola stres adalah cara baik dan cara paling mudah dilakukan oleh seseorang. Hal itu karena seseorang bisa mengontrol kondisi stres dirinya sendiri.
Meski begitu, terdapat beberapa cara ampuh untuk menurunkan kadar kortisol yang bisa Anda lakukan juga menurut Hello Sehat, berikut di antaranya:
Pertama, perbaiki kualitas dan durasi tidur. Sebab, kemampuan Anda mengatasi stres berkurang ketika Anda kurang tidur. Tidur yang normal untuk orang dewasa adalah 7-9 jam per hari. Tidur dilakukan dari malam hari hingga menjelang pagi, bukan 7-9 jam di pagi, siang, atau sore hari.
Kedua, pilih asupan makanan yang baik. Beberapa makanan yang bisa menurunkan kadar kortisol meliputi makanan tinggi magnesium, seperti alpukat, cokelat hitam, hingga pisang.
Makanan tinggi asam lemak omega-3 juga bsia membantu penurunan kadar kortisol. Beberapa di antaranya adalah ikan salmon, chia seed, dan kenari.
Lalu, yoghurt, kombucha, hingga asinan yang kaya probiotik juga bisa menunjang upaya penurunan kadar kortisol.
Ketiga, jalani olahraga. Olahraga bisa secara otomatis mengalihkan pikiran dari persoalan-persoalan yang mengundang stres. Ketika berolahraga, otak Anda akan fokus sepenuhnya pada kegiatan Anda saat itu juga.
Sebagai contoh, ketika Anda berolahraga lari atau jogging, Anda hanya akan fokus pada berapa jarak lari yang ditempuh, berapa waktu yang dibutuhkan untuk mencapai sekian kilometer, dan seterusnya. Secara otomatis, Anda akan melupakan pikiran-pikiran penyebab stres.
Jika Anda sudah lama tidak berolahraga, mulailah dengan olahraga yang ringan dulu. Lama-kelamaan, Anda akan terbiasa, dan bisa Anda tingkatkan intensitasnya. Kalau sudah terbiasa, pertahankan kegiatan olahraga Anda demi menjaga kebugaran dan supaya tidak gampang stres.