Hiburan

AKSI vs VISI: Duduk Perkara Perseteruan soal Royalti

pratamedia.com – Industri musik Tanah Air, pada beberapa bulan awal tahun 2025 ini, tiba-tiba diramaikan dengan perseteruan dua kubu perkumpulan musisi. Keduanya punya pandangan bertentangan soal royalti dan hak cipta musik. Dua kubu tersebut adalah AKSI vs VISI.

AKSI, atau Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia, digawangi beberapa di antaranya oleh Ahmad Dhani dan gitaris Padi, Piyu. Sementara VISI merupakan singkatan dari Vibrasi Suara Indonesia, yang diisi di antaranya oleh Ariel Noah dan Armand Maulana.

Namun, seiring berjalannya waktu, perdebatan antara keduanya kian minim substansi. Yang ada hanyalah benturan-benturan sensasional antar-anggota dari masing-masing kubu yang memang diisi oleh musisi-musisi kondang. Kubu yang satu menyerang kubu yang lain tanpa esensi.

Sayangnya, sejumlah media massa juga tidak banyak menyoroti substansi dari perseteruan ini dalam liputan-liputannya. Mereka seakan-akan terbawa arus untuk membahas sisi sensasionalnya, alih-alih membahas lebih dalam dasar hukum soal royalti dan hak cipta.

Padahal, soal hak cipta amat penting untuk diurai, terutama dari sisi hukum dan aturan Undang-Undang-nya. Penguraian masalah ini tidak hanya penting bagi para pelaku industri di bidang musik itu, tetapi juga jadi bahan pembelajaran buat masyarakat luas.

Pemantik Perseteruan AKSI vs VISI

Perseteruan AKSI vs VISI bisa dibilang membuncah gara-gara kasus royalti antara Agnes Monica dan Ari Bias. Apabila dirunut dari kronologinya menurut laporan Kompas.com, seteru keduanya pun sebenarnya bukan terjadi baru-baru ini, tetapi sudah sejak Desember 2023. Namun puncaknya terjadi pada akhir Januari 2025.

Pada Desember 2023 silam, Ari Bias, pencipta lagu “Bilang Saja”, melayangkan protes. Ia tak terima lagu tersebut dibawakan oleh Agnes Monica dalam beberapa penampilan off air, tetapi ia sebagai penciptanya tidak menerima royalti.

Beberapa penampilan off air yang dimaksud adalah penampilan Agnez Mo dalam konser di Surabaya pada 25 Mei 2023, Jakarta pada 16 Mei 2023, dan Bandung pada 27 Mei 2023.

Namun, baru pada Mei 2024, Ari Bias melayangkan somasi dan permohonan ganti rugi senilai Rp1,5 miliar kepada Agnez Mo. Ia pun sempat melaporkan Agnez ke kepolisian pada Juni 2024 sebelum menggugat Agnez secara perdata di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada September 2024.

Singkat cerita, proses persidangan pun mencapai puncaknya, yakni putusan pengadilan, pada 30 Januari 2025. Persidangan telah melewati proses pembacaan gugatan dan penghadiran saksi dan bukti sebelumnya.

Dalam putusannya, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat memutus Agnez Mo bersalah. Agnez dinyatakan bersalah karena membawakan lagu “Bilang Saja” di beberapa kesempatan tanpa meminta izin kepada penciptanya, Ari Bias. Agnez dinyatakan harus membayar ganti rugi senilai Rp1,5 miliar kepada si pencipta lagu.

Sementara itu pihak Agnez menyampaikan keberatannya. Menurutnya, pembayaran royalti sudah dilakukan melalui pihak ketiga, yakni pihak penyelenggara. Dengan demikian, Agnez merasa tidak berkewajiban membayar royalti secara langsung kepada Ari.

Lalu Terbentuklah VISI

Visi disebut sebagai gerakan kolektif dari sekumpulan musisi yang peduli terhadap ekosistem musik Indonesia, terlebih lagi soal hak cipta dan royalti. Kelompok ini menggaungkan perbaikan mekanisme royalti yang transparan, adil, dan akuntabel.

Berdasarkan penelusuran di media sosial Instagram, manifesto VISI pertama kali diunggah secara serentak pada tanggal 17 Februari 2025. Beberapa musisi yang mengunggah manifesto di akun pribadinya masing-masing meliputi Ariel Noah hingga Bernadya.

Dalam manifestonya, VISI menegaskan setidaknya lima poin. Salah satunya ialah mengenai penguatan kelembagaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) atau di bawahnya, yaitu LMK.

Menurut kelompok ini, aturan penyaluran royalti dari penampil musik kepada pencipta sudah ada dalam UU. Namun, mereka menilai bahwa implementasinya di lapangan kerap tidak berjalan sesuai harapan.

Empat poin lainnya meliputi perlindungan hak cipta, sistem royalti yang transparan, revisi UU Hak Cipta, dan perlindungan hak penyanyi dan pelaku pertunjukan.

Hingga saat ini, tercatat sudah ada 29 musisi Tanah Air yang tergabung bersama VISI. Ke-29 musisi ini juga mengajukan gugatan UU Hak Cipta. Tujuannya adalah untuk pengajuan uji materi yang mereka rasa merugikan bagi pelaku industri musik.

Sejumlah 29 musisi yang tergabung di VISI adalah Ariel Noah, Armand Maulana, Bernadya, Bunga Citra Lestari, Vina Panduwinata, Titi DJ, Judika, Rossa, Raisa, Nadin Amizah, Nino RAN, dan Vidi Aldiano.

Lalu ada nama Afgan, Ruth Sahanaya, Yuni Shara, Fadly Padi, Ikang Fawzi, Andien, Dewi Gita, Hedi Yunus, Mario Ginanjar, Teddy Adhytia, David Bayu, Tantri Kotak, Arda Naff, Ghea Indrawari, Rendy Pandugo, Gamaliel, dan Mentari Novel.

AKSI Terbentuk Lebih Dulu

Menurut laporan detikHot, AKSI terbentuk pada 3 Juli 2023. Perkumpulan ini dibentuk dengan tujuan sebagai wadah kepedulian para musisi untuk melindungi dan membela hak-hak pencipta lagu.

Salah satu pentolan AKSI adalah musisi Dewa 19, Ahmad Dhani. Di perkumpulan ini, ia juga berposisi sebagai Ketua Dewan Pembina. Salah satu ide royalti yang ia gaungkan bersama kelompok ini adalah lisensi langsung (direct license).

Direct license berarti sistem lisensi dan pembayaran royalti langsung dari pelaku pertunjukan kepada pencipta lagu. Dengan demikian, pembayaran royalti tidak melalui perantara atau orang ketiga, semisal LMK.

Ketua AKSI, Satriyo Yudi Wahono alias Piyu gitaris band Padi, menyuarakan dengan lantang soal direct license ini. Menurutnya, pencipta lagu memiliki hak untuk meminta royalti melalui mekanisme tersebut dari penampil yang melakukan pertunjukan live music atau konser.

“Pencipta lagu memiliki kebebasan dalam menentukan haknya. Pencipta lagu bisa memilih untuk menggunakan direct license untuk konser performing event. Dan itu disebutkan juga dalam Undang-Undang Hak Cipta Pasal 81,” kata Piyu dalam unggahan video di akun Instagram aksibersatu pada 29 Maret 2025.

Tercatat ada 44 musisi yang tergabung dalam AKSI. Beberapa musisi yang tergabung dalam perkumpulan ini meliputi Ahmad Dhani, Piyu Padi, Denny Chasmala, Ari Bias, Badai eks Kerispatih, Anji Manji, hingga Rieka Roeslan.

Kedudukan di Undang-Undang dari Kacamata AKSI

Dalam memahami aturan royalti yang tercantum dalam Undang-Undang (UU) Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, baik AKSI maupun VISI punya penekanan yang berbeda. Yang satu bersikukuh pada aturan direct license, sementara yang lain tetap bersikeras melalui LMK meski mekanismenya diharapkan jauh lebih maksimal.

Piyu dari pihak AKSI, misalnya, mendasarkan argumennya soal royalti pada Pasal 81 UU tersebut. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

Kecuali diperjanjikan lain, Pemegang Hak Cipta atau pemilik Hak Terkait dapat melaksanakan sendiri atau memberikan Lisensi kepada pihak ketiga untuk melaksanakan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 23 ayat (2), Pasal 24 ayat (2), dan Pasal 25 ayat (2).

(Catatan: Pasal 9 Ayat (1) mengatur hak ekonomi bagi pencipta atau pemegang hak cipta. Pasal 23 Ayat (2) mengatur soal hak memberikan izin atau melarang pihak lain untuk membawakan karya pencipta di suatu pertunjukan. Pasal 24 Ayat (2) mengatur hal serupa seperti Pasal 23 Ayat (2), tetapi lebih spesifik untuk produser fonogram. Lalu Pasal 25 Ayat (2) mengatur hal serupa untuk lembaga penyiaran.)

Kedudukan di Undang-Undang dari Kacamata VISI

Sementara pihak VISI punya penekanan lain. Perwakilan VISI, Nazril irham alias Ariel vokalis band Noah, mengatakan bahwa UU Hak Cipta sejatinya tidak hanya mengatur soal hak ekonomi pencipta lagu. Ia juga mengatur hak ekonomi pelaku pertunjukan.

Misalnya, Ariel mendasarkan argumennya pada Pasal 23 Ayat (5) UU tersebut. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:

Setiap Orang dapat melakukan Penggunaan Secara Komersial Ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada Pencipta dengan membayar imbalan kepada Pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.

“Jadi selama ini sudah umum bagi para penyanyi untuk menyanyikan langsung sebuah lagu. Lalu pembayaran kepada pencipta seperti yang sudah diatur di Pasal 23 [Ayat 5], yaitu melalui LMK,” ujar Ariel.

Meski begitu, Ariel juga tetap menyoroti kurang optimalnya mekanisme pembayaran royalti melalui LMK. Ia menganggap laporan dari LMK kerap kurang detil dan mekanismenya tidak digital sehingga menyulitkan proses penyampaian royalti ke pencipta.

“Jadi menurut saya yang paling penting sekarang adalah negara hadir untuk mengatur sementara waktu sampai Undang-Undang [Hak Cipta] selesai direvisi. Dan LMK harus secepatnya memperbaiki kinerjanya,” tegas Ariel.

Pendapat Ahli

Dari uraian pasal-pasal di UU Hak Cipta di atas, maka bisa disimpulkan bahwa dua opsi tersebut bisa dijalankan. Pasal 81 membolehkan pencipta meminta royalti melalui mekanisme direct license. Pasal 25 Ayat (5) membolehkan pelaku pertunjukkan membayarkan royalti lewat LMK.

Begitu pulalah kesimpulan yang ditarik oleh advokat dan praktisi hukum kekayaan intelektual Ari Juliano Gema dalam menanggapi kisruh soal royalti ini. Dua opsi di atas bisa dipilih oleh pencipta lagu maupun pelaku pertunjukan.

“Ada dua opsi sebenarnya yang bisa diambil berdasarkan Undang-Undang juga. Pertama, minta izin langsung dari penciptanya. Atau membayar royalti kepada LMK,” kata Ari dalam program Pojok Keramat di kanal YouTube Mahfud MD Official.

Namun, pada kasus Agnez Mo vs Ari Bias, ia mengatakan bahwa yang terjadi adalah pihak penyelenggara tidak membayarkan royalti melalui LMK. Dengan demikian, wajar apabila Ari Bias sebagai pencipta lagu protes.

“Menurut versinya Agnes Monica, berdasarkan kontraknya dengan penyelenggara, hal-hal yang berkenaan dengan royalti diserahkan kepada penyelenggara,” kata Ari.

Lebih lanjut, Ari mengatakan bahwa pengadilan luput melihat fakta kontrak tersebut. Masalah kian rumit karena pihak penyelenggara tidak pernah hadir selama proses pengadilan sebagai turut tergugat.

“Tidak dimintai keterangan segala macam. Akhirnya hakim memutuskan Agnes Monica-lah [yang diputus bersalah],” kata Ari.

Kata Musisi yang Tidak Tergabung di AKSI Maupun VISI

Satu musisi yang sudah buka suara terkait kisruh royalti dan hak cipta ini adalah vokalis D’Masiv, Rian. Ia cenderung wait and see dalam mencerna persoalan yang sedang ramai jadi perbincangan ini.

“Kita menunggu keputusan aja lah, kalau ada di Undang-Undang ya kita patuhi,” kata Rian seperti dilansir Kompas.com, Rabu 9 April 2025.

“Tapi saat ini kan masih wait and see juga sih, karena mungkin lebih banyak orang yang paham soal itu. Jadi saat ini ingin melihat dulu,” imbuh Rian.

Di samping itu semua, pelantun lagu “Cinta Ini Membunuhku” tersebut meyakini bahwa kekisruhan ini akan berujung pada kebaikan. “Intinya sih semuanya pasti memperjuangkan sesuatu yang baik untuk industri musik,” ujarnya.

Ryan pun berbagi pandangan mengenai mekanisme pembayaran royalti untuk pertunjukan musik di Amerika Serikat. Ia mengatakan bahwa di sana juga pembayaran royalti dilakukan melalui lembaga mirip LMK seperti di Indonesia.

“Kalau di Amerika, misalnya untuk konser, yang membayar royalti adalah pihak penyelenggara. Tapi sistem mereka sudah benar dan lebih transparan,” kata Rian.

“Pihak yang berwenang mengumpulkan royalti benar-benar maksimal dalam menjalankan tugasnya dan bisa mendistribusikan dengan baik kepada para pencipta lagu. Makanya, di sana banyak pencipta lagu yang hidupnya sejahtera,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *